Ketika Hujan, Lintang dan Hujan
Tik.. tik.. tik..
Gadis berkerudung itu mendongak, menatap langit
yang tengah bersedih, gelisah, murung dan gelap, meneteskan satu persatu air
dari surga. Basah, dingin dan menyerap ke dalam tanah dengan cepat. Ia tidak
bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Seolah tidak menyadari bahwa dalam
hitungan detik gerimis ini akan menjadi hujan deras.
Dua menit berlalu, gadis berkerudung itu tetap
berada di tempatnya, hanya diam. Hujan deras membuat seragam yang ia kenakan
itu seratus persen basah. Tas yang ada di punggungnya pun basah. Entah
bagaimana nasib buku literatur di dalamnya. Ia menunduk, menatap aspal yang
diam saja menahan berat badannya.
“Sedang apa di sini?” tanya seorang laki-laki yang berusia seumuran
gadis berkerudung itu. Laki-laki itu
baru saja keluar dari salah satu gedung yang berada di sebuah gang sempit di
antara dua gedung tinggi yang tak terjangkau.
Gadis berkeerudung itu mengerutkan alis, “Berdiri.”
jawabnya singkat.
“Tapi sekarang sedang hujan. Masuklah, ada pertunjukan
bagus di dalam sana.” Laki-laki itu menunjuk salah satu gedung. “ Apakah kamu
suka hujan, sama sepertiku?” tanya laki-laki itu.
Gadis itu menggeleng dan menjawab “Tidak. Aku hanya malas pulang.” Air hujan
semakin membasahi tubuh gadis berkerudung ini.
“Kalau begitu masuklah ke dalam?” ajak laki-laki itu, lagi.
Gadis berkerudung itu mendesis, tapi apa daya, laki-laki di
hadapannya sudah terlebih dulu menyambar lengan tangannya sebelum gadis itu
sempat menyetujui atau menolak ajakannya. Gadis berkerudung itu berdiri di antara gerombolan penonton
yang menyaksikan mini konser di dalam gedung tersebut. Ia hanya mampu terhanyut
dengan penampilan laki-laki berpawakan tinggi yang ia ketahui dengan nama
Lintang.
Lima belas menit setelah penampilan itu, gadis berkerudung
itu keluar bersama Lintang. Tangan Lintang disibukkan dengan lembaran Rupiah
yang ia peroleh dari pekerjaannya. Lintang terus berjalan di bawah rintikan gerimis sisa hujan
beberapa waktu lalu.
Gadis berkerudung itu mengerutkan kening saat Lintang
berhenti di tepian sungai sebuah jembatang yang menghubungkan dua daratan yang
dipisahkan oleh sungai besar dan deras. Sungai itu membentuk banyak sekali
riak-riak air yang disebabkan oleh titik-titik hujan yang turun. Bayangan lampu
kota memantul indah, bergoyang-goyang dan beriak seiring air hujan yang turun.
Gadis berkerudung itu mengangguk lirih. Tidak ada
pemandangan air lebih indah dari pada pemandangan sungai ini. Ketika di malam
hari saat hujan seperti ini, seperti apa yang ditunjukkan oleh Lintang.
Sekilas ia melirik Lintang yang tengah menyandarkan
punggungnya di pagar pembatas jembatan. Salah satu kaki panjangnya terangkat
seraya menelangkupkan kedua tangannya di depan dada. Lintang menikmati aliran
air sungai dan tetes air yang mengalir dari ujung rambutnya menuju ujung
kakinya.
Gadis berkerudung itu menarik nafas, ia tidak pernah sadar
ada hal-hal yang menarik di dunia ini yang belum ia lihat.
“Berapa usiamu?” tanya gadis berkerudung itu yang memulai
percakapan.
“19.” jawab Lintang singkat.
“Kamu tidak kuliah?” tanya gadis berkerudung itu lagi,
namun dengan tempo yang pelan.
“Kuliah? Lulus SMA
untung. Buat apa kuliah.” jawab Lintang sambil terkekeh, sukses membuat gadis
berkerudung itu terheran.
“Kenapa?” tanya gadis berkerudung itu –lagi.
“Buat apa aku harus capek-capek kuliah, toh untuk
mendapatkan uang aku hanya membutuhkan suara yang keluar dari mulutku. Bukan
dari selembar kertas bertuliskan identitas lengkapku dan beberapa angka yang
bertengger di sebuah kolom nilai.” lanjut Lintar. Gadis berkerudung itu hanya bisa membulatkan matanya di
hadapan Lintang. Beberapa detik kemudian pandangannya kembali lagi ke aliran
Sungai.
Gadis berkerudung itu masih berdiri, seperti
menikmati air dingin yang terus mengalir ke seluruh tubuhnya. Hingga air hujan
itu benar-benar sudah meresap ke dalam kulit di balik pakaiannya. Bahkan ia
sudah merasakan hawa dingin itu di perutnya. Ia meremas kedua kepalan tangannya
seolah ingin mencari kehangatan yang sia-sia saja. Ia menoleh ke arah luar gang
di mana ia berdiri. Hanyalah jalanan sepi yang tampak kabur oleh kabut dan
awan-awan tipis yang tercipta karena perbedaan temperatur dan suhu yang ia
lihat.
Saat itu aku tahu bahwa itu adalah akhir. Aku
tahu itu semua hanyalah kebodohanku.Saat itu aku tahu itu semua tidak benar.Aku
hanya kecewa pada diriku sendiri. Karena “sebuah kebanggaan itu” aku tidak bisa
memelukmu, mendekapmu sebagai kekasihku. Aku teringatdi satu musim hujan kau
datang dan menemukanku. Menemani dan bersamaku melewati malam. Dan ketika hujan
mulai berhenti, kau juga. Perlahan, sedikit demi sedikit, kau juga akan berhenti.
“Aku cinta kamu. Aku mencintaimu sebanyak tetesan air hujan
yang menghantam tanah ketika musim hujan datang.” suara lirih Lintang hampir
saja tertelan oleh gemuruh hujan deras yang selalu mengguyur.
Masih tidak ada respon dari gadis berkerudung itu. Bukannya
dia tuli atau berpura-pura tuli. Di satu sisi gadis berkerudung itu belum memiliki
alasan yang tepat untuk menerima cinta Lintang namun di sisi lain ia tidak
memiliki alasan untuk menolak cinta Lintang. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada
bagian terkecil di dalam relung hatinya yang telah ia siapkan untuk Lintang. Gadis
berkerudung itu menangkap manik mata Lintang yang masih tertuju padanya. Ia
tahu bahwa saat ini Lintang mencoba mencari jawaban atas pernyataannya.
Gadis berkerudung itu menggeleng, “Aku tidak bisa memiliki
kekasih yang tidak melanjutkan pendidikannya, aku menginginkan kekasih yang
memiliki latar belakang baik, berwawasan luas dan berpendidikan.”
Melihat ekspresi wajah Lintang saat ini membuat gadis
berkerudung itu tersiksa.
Lalu gadis berkerudung itu melanjutkan, “Aku tidak bilang
kamu bodoh, aku juga tidak bilang kalau tidak melanjutkan sekolah dan pergi
bekerja adalah sebuah hal yang salah. Tapi aku juga perlu seseorang yang suatu
hari juga diterima oleh kedua orang tuaku. Aku harap kamu bisa mengerti.” tutur
gadis berkerudung itu penuh keyakinannya.
Lintang hanya diam. Hujan pun semakin deras.
Gadis berkerudung itu menunduk lebih dalam dari
sebelumnya. Ia sedang menahan letupan di dadanya, rasa perih yang menggerus
hatinya menjadi butiran kristal yang pada akhirnya mengalir dari ujung matanya,
menyerobot keluar dari kelopak matanya, mengalir menyusuri pipinya. Gadis
berkerudung itu membiarkan air matanya menetes. Satu persatu. Tidak mengijinkan
jemarinya menghentikan, tidak pula menyeka air mata yang kini sudah hampir
menyerupai bendungan yang pecah. Deras mengalir.
Saat itu aku telah menghapus semua tentangmu. Aku
telah mengosongkan pikiranku tentangmu.Tapi ketika hujan mulai turun lagi, seluruh
kenangan tentangmu yang kusembunyikan dengan rasa sakit. Semuanya menyeruak
kembali, terulang. Mencarimu.
Mendung, dan gadis berkerudung itu beranjak
berlari menuju gang sempit di mana ia bertemu dengan Lintang pertama kali. Tapi
gang itu lengang tidak ada satu orang pun di sana. Padahal sebelum ini, selalu
ada Lintang yang menunggu dan menyambut kedatangannya ketika ia datang
terlambat saat hujan.
Setelah pernyataan perasaan Lintang yang
mendadak itu, setelah penolakan mentah-mentah dengan alasan yang tidak begitu
kuat darinya, gadis berkerudung itu mulai merasakan kehilangan. Waktu satu
tahun pun terasa terlalu cepat jika ia harus menghapus kenangan bersama
Lintang.
Gadis berkerudung itu terus menoleh ke
belakang, kanan dan kiri mencoba mencari keberadaan Lintang. Nihil. Hingga
akhirnya hujan berhenti satu jam kemudian, gadis berkerudung itu tak kunjung
menemukan sosok yang ia cari.
Teruntuk engkau. Tidak ada lagi jalan untukku
kembali saat itu. Tapi melihat wajahmu, terpancar kebahagiaan dengan yang lain.
Aku akan tetap berusaha tersenyum. Karena aku lah seseorang tanpa kekuatan
apapun, tanpa hak apapun untuk menghentikanmu.
Wajah malaikat yang selama ini berkutat di pikiran gadis berkerudung itu familiar terlihat dari arah kejauhan. Gadis berkerudung itu memerhatikan takut-takut, berharap sosok yang semakin mendekat itu adalah Lintang sedang ia pikirkan saat ini. Namun ketika sosok itu semakin jelas di pandangannya, hati gadis berkerudung yang telah remuk karena gerusan egonya sendiri, kini semakin halus tak berbentuk. Seperti abu yang siap hilang diterpa angin.
Gadis berkerudung itu tidak mampu lagi
membendung air matanya. Melihat laki-laki yang ia cintai tengah berjalan seraya
melingkarkan tangan panjangnya pada pinggang sempit gadis berkerudung merah
jambu di sisinya yang tengah membawa payung. Gadis berkerudung itu seakan
melihat cerminan dirinya bersama Lintang di sana. Andai waktu dapat diputar
kembali, mungkin yang ada di sisi Lintang saat ini adalah dirinya. Bukan gadis
berkerudung merah jambu itu.
Ia menyadari bahwa saat ini Lintang menatapnya
dari arah yang tidak jauh sambil tersenyum –bahagia. Gadis berkerudung itu
menggigit bibir bawahnya. Memaksakan diri untuk membalas senyum itu. Senyum
pahit di antara bulir-bulir air mata yang menetes tersamarkan dengan rintik
hujan.
Kenapa ia harus menangisi keputusannya satu
tahun silam? Kenapa ia harus menunggu musim hujan tahun ini untuk mengatakan
yang ia rasakan saat ini? Kenapa ia harus menangis, menyesali bahwa laaki-laki
berwajah malaikat yang ia cintai itu kini tak lagi berada di pihaknya?
Jika mencintai Lintang, kenapa gadis
berkerudung itu tidak mengatakannya? Apakah sebuah gengsi dan status sosial
rendah bisa membunuhnya? Apakah cinta tidak berarti lagi baginya? Kenapa
menyakiti diri sendiri, kenapa tidak mengaku bahwa memiliki perasaan yang sama?
Kenapa harus menunggu satu tahun berlalu?
Dan ketika Lintang melintas, gadis berkerudung itu tahu bahwa Lintang menoleh ke arahnya yang masih mencoba membiasakan diri untuk berdiri di spot yang penuh kenangan yangterasa begitu menyakitkan. Lintang menatapnya sekilas. Dan entah benar atau salah, dirinya maupun Lintang sama-sama memiliki bulir yang tengah menggantung di kantung mata mereka. Bulir yang siap menetes dan sekali lagi tersamarkan oleh hujan. Dan semuanya berakhir di sini, tempat dimana mereka memulainya.
“Sampai kapan kamu akan terus berdiri di sini?”
Gadis berkerudung itu menoleh, seorang wanita
tiga tahun lebih tua darinya kini tengah memayunginya dari tetesan air hujan.
Ia menghamburan memeluk erat wanita itu hingga payung itu terlepas dan hujan mulai
membasahi Lulu yang ternyata adalah kakaknyaa. Gadis berkerudung itu menangis,
terisak dalam rangkulan Lulu.
Apa yang bisa aku lakukan pada sesuatu yang sudah
berakhir?Aku hanya menyesalinya, seperti orang bodoh dan idiot. Hujan selalu
turun setiap tahun, dan rasa sakit itu akan terus terulang.Ketika hujan
berhenti, maka aku akan berhenti.
Maafkan gadis berkerudung itu yang terus membohongi diri
sendiri hingga ia harus kehilanganmu, Lintang. Maafkan gadis berkerudung yang
mengatasnamakan sebuah kebanggaan yang sesaat sehingga ia sendiri tidak bisa
melakukan apa-apa saat kau berjalan menjauh.
Maafkan gadis berkerudung yang hanya bisa menangis, setiap
kali hujan turun karena terus teringat akan kenangan bersamamu yang ia lewati
selama musim hujan yang menjadi sebuah ingatan terindah baginya. Maafkan gadis berkerudung yang bodoh yang hanya bisa
menyesalinya sekarang.
Lintang, maafkan gadis berkerudung yang bodoh itu. Maafkan
gadis berkerudung yang bodoh yang sama sekali tidak bisa mengatakan betapa ia
mencintaimu. Mencintaimu sebanyak tetes hujan yang menghantam tanah selama
musim hujan setiap tahunnya.
Maafkan gadis berkerudung yang bodoh, yang ternyata adalah…
Maafkan gadis berkerudung yang bodoh, yang ternyata adalah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar